IQNA

Imamah dalam Perspektif Ontologis dalam Sistem Filsafat Syi’ah

9:52 - May 26, 2016
Berita ID: 3470404
IRAN (IQNA) - Imamah memiliki kedudukan penting dalam keyakinan Syi’ah untuk hidayah tasyri’i, penyambung manusia ke tahap manusia sempurna dan penghambaan serta banyak riwayat mutawatir yang disebutkan dalam literatur Ahlulbait (As) dalam hal ini.

Ali Akbar Dhiya’i, Atase Kebudayaan Iran di Malaysia dalam sebuah catatan khusus yang diberikan kepada IQNA dengan topik Kedudukan Imamah dalam perspektif ontologis dalam sistem filsafat Syi’ah mengemukakan, imamah memiliki kedudukan penting dalam keyakinan Syi’ah untuk hidayah tasyri’i, penyambung manusia ke tahap manusia sempurna dan penghambaan serta banyak riwayat mutawatir yang dalam hal ini disebutkan dalam literatur Ahlulbait (As). Namun poin yang jarang dibicarakan dalam sejumlah media, mimbar, pertemuan mauidzah dan khotbah adalah imamah dalam perspektif ontologis dalam sistem filsafat Syi’ah sebagai perantara Faidh (karunia) dan mata rantai penghubung alam malakut ke nasut dan peran hidayat takwini imam dalam perjalanan kesempurnaan eksistensi dari benda-benda sampai manusia.

Dalam doa juga banyak sekali terlihat kalimat-kalimat seperti Kunta Nūran fil Ashlab al-Syāmikhah dan atau dalam hadis Qudsi, Awwalu Ma Khalaqa Allah Nūri dan atau Awwalu ma Khalaqallah al-Aql, dimana kesemuanya menunjukkan sejenis wujud dan eksistensi untuk Ahlulbait (As) sebelum penciptaan Adam (As), bahkan sebelum penciptaan eksistensi materi dan non materi seperti malaikat dan perspektif filsafat juga menerima riwayat tersebut sebagai rekomendasi dan filsafat Syi’ah dalam karya dan tulisan-tulisannya merujuk padanya.

Semua tingkatan eksistensi ini secara takwini dan ontologis juga ada untuk Imam Mahdi (af) secara nyata dan beliau selain kesempurnaan dan tingkatan tinggi eksistensi juga sebagai penutup para imam dan penutup para wali, yakni penutup wilayah khusus.

Disebutkan dalam hadis, "Aku dan Ali adalah cahaya di keharibaan Allah azza wa jalla sebelum diciptakannya Adam selama 14 ribu tahun, dan ketika Adam diciptakan Allah membagi cahaya tersebut dan membaginya menjadi dua bagian; satu bagianku dan satu bagian Ali. Meski dalam riwayat ini, cahaya Imam Ali (As) sejajar dengan cahaya Muhammadi, barang kali sebabnya adalah urgensitas kedudukan wilayah Alawi di tengah-tengah cahaya Ahlulbait (As) dan semua cahaya tercakup di bawah naungan hakikat Muhammadiyyah.

Hakikat Muhammadiyyah yang merupakan *taayyun awal sebagai manifestasi Hak, termasuk dari perkara-perkara azaliyyah dan bahkan para arif Syi’ah menganggapnya bukan sebagai Ain; namun selain Dzat dan cahaya Muhammadi sebagai makhluk pertama setelah *taayyun awal dan hakikat Muhammadiyyah dan hakikat Imam Mahdi tercakup dalam cahaya Muhammadi dan penutup wilayah khusus yang berartikan tidak bersambungnya maqom ini untuk para wali-wali khusus lainnya.

Dengan pendekatan filsafat semacam ini kita dapat melihat kedudukan hakikat Imam Zaman, dimana faidh beliau dengan izin Allah adalah untuk keutuhan eskistensi alam dan kelanggengannya, bahkan lebih umum untuk itu semua, yaitu alam semesta mencakup alam jasmani dan rohani sangatlah penting dan juga manusia dengan segala tendensi harus mengetahui bahwa eksistensinya berada di bawah naungan eksistensi beliau (ajf), keberadaannya bergantung pada keberadaan beliau, kesempurnaanya di bawah percikan kesempurnaan wujud beliau dan manusia ini harus berupaya dalam mengenal kedudukan semacam ini dan berupaya untuk sampai pada kesempurnaan materi dan maknawi dalam menghidupkan filsafat kemunculan beliau.

* Taayyun dalam filsafat dan teologi berarti satu hal yang dengannya dibedakan dengan selainnya, sehingga tidak ada satupun lainnya yang memiliki persamaan. Dengan ibarat lain, taayyun adalah titik tolak dan pembeda antara satu maujud dengan semua eksistensi lainnya.

http://iqna.ir/fa/news/3500912

captcha